Kamis, 06 Mei 2010

Bid'ah dan Tasyabbuh Disekitar Umat Islam Bagian Pertama

Salah satu problem keagamaan semenjak Islam berkembang ke luar Jazirah Arabia sampai dewasa ini adalah bagaimana menyikapi ketegangan antara keyakinan agama (teologis) dan tradisi kebudayaan lokal (sosiologis). Sebagian kalangan cenderung menolak mentah-mentah apa pun yang dianggap "bukan bagian dari agama" sehingga muncul gerakan purifikasi (pemurnian) agama. Umumnya gerakan “radikal” keagamaan berawal dari kecenderungan ini, disamping ada upaya rekayasa (makar) dari sekelompok orang yang tidak menginginkan kemajuan Islam. Dan sayang, gerakan purifikasi agama “radikal” cenderung mengambil jalan kekerasan dan tidak toleran terhadap sistem etika, apalagi sistem keagamaan di luar dirinya.
Sepanjang sejarah, keberagamaan seseorang muslim senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan (budaya). Setiap manusia, hatta seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya. Klaim bahwa seorang puritan bebas TBC (taqlid, bid’ah, "churafat") dan “SEPILIS” (sekulerisme, pluralisme) tidaklah selalu benar dalam kenyataannya. Apakah ada manusia sosial yang benar-benar lepas dari proses taqlid? Adakah orang yang benar-benar lepas dari proses perubahan dan inovasi? Apalagi dalam kehidupan sosial, proses akulturasi budaya hampir dipastikan berpengaruh besar dalam membentuk kehidupan sosial baru tak terkecuali dalam pelaksanaan keagamaan tidak lepas dari proses penetrasi budaya (Tasyabbuh).
Bid’ah dan Tasyabbuh adalah dua fenomena dikalangan umat yang tak akan habis untuk diperbincangkan sepanjang Islam masih bersemayam dalam jiwa manusia. Ikhtilaf persoalan Bid’ah dan Tasyabbuh dikalangan umat, umumnya terjadi karena perbedaan sudut pandang. Seperti perdebatan dalam masalah prespektif bid’ah dikarenakan adanya dua pendekatan yang berbeda, antara yang menggunakan pendekatan etimologis (kebahasaan) dan epistemologis (syari’at). Pendekatan etimologis sifatnya lebih global sehingga lebih melunak dalam mensikapi bentuk bid’ah, karena menurut pendekatan ini, bid’ah adalah ungkapan untuk sebuah inovasi dalam bentuk apapun, termasuk dalam aspek syari'ah. Sehingga, mereka menyatakan adanya bid’ah yang baik dan bid’ah yang kurang baik. Sementara yang memahami bid’ah dengan menggunakan pendekatan epistemologis, menyatakan keberatannya semua bentuk bid’ah dalam aspek ibadah, karena pendekatan epistemologis, lebih mengacu pada aspek syari'ah. Artinya bid’ah yang dimaksudkan dalam Hadits Nabi adalah segala bentuk inovasi dalam hal ibadah atau praktek keagamaan yang tidak pernah dipraktekan oleh Nabi. Sehingga kelompok ini menyatakan keberatannya terhadap bentuk dan segala macam bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran agama (Islam).
Sedangkan persoalan Tasyabbuh dikalangan umat akan lebih komplek, sebab persoalan Tasyabbuh tidak saja masuk dalam ranah keagamaan semata, namun menyangkut dimensi yang lebih luas dalam kehidupan manusia. Jadi akan sangat sulit kita menerima pandangan seseorang yang dirinya mengaku bebas tasyabbuh, kecuali jika sekelompok orang yang benar-benar terisolasi sehingga tidak pernah berinteraksi sosial dengan dunia luar. Persoalannya Islam bukanlah agama “tirai bambu" , bukan pula agama “sinkretis”, namun Islam adalah agama “wasathan”, pertengahan (tidak kaku dan tidan bebas), agama yang toleran, elegan namun teguh pada prinsip-pripsip dasar yang haq.
Namun demikian, bid’ah dan Tasyabbuh menjadi nubuwah akhir zaman yang harus menjadi perhatian umat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sayang secara normatif, Nabi tidak menjelaskan secara eksplisit pemaknaan dari kedua istilah itu, sehingga wajar jika dikalangan umat terjadi perbedaan dalam memahami kedua istilah tersebut. Namun keduanya akan menjadi rahmat sepanjang umat mensikapinya secara arif dan bijaksana. Dalam artian perspektif mengenai bid’ah dan Tasyabbuh berada dalam koridor ijtihad, yang memungkinkan menghasilkan ijtihad yang benar dan mungkin salah. Jadi yang paling arif mensikapi fenomena bid’ah dan Tasyabbuh adalah memiliki pemahaman yang benar terhadapnya dengan kadar ilmal-yaqin (keyakinan ilmu), kemudian berhati-hati dengannya, bukan melakukan tahkim (memberikan hukum) kepada setiap orang dan menganggap diri “clear” dari keduanya.
Dan secara eksplisit, bid’ah dan Tasyabbuh keduanya adalah “virus” yang banyak menghancurkan generasi umat akhir zaman, Hal itu selaras dengan apa yang telah di sabdakan Nabi :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Dari Jabir ibn Abdullah berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbahnya, setelah dia memanjatkan hamdalah dan memuji-Nya dan kebaikan bagi keluarganya, kemudia beliau bersabda:” Barang siap yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang dapat menjadikan dia tersesat, dan barang siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang mampu memberi petujuk kepadanya, sesungguhnya sebenar-benarnya perkataan adalah kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, dan sejelek-jeleknya urusan adalah perkara-perkara yang baru dalam agama, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka ( H.R Ashab Sunan)
عن أَبِي سَعِيدٍ الْخدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ: فَمَنْ
"Sungguh diantara kalian akan mengikuti apa-apa yang dilakukan bangsa-bangsa terdahulu, selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta walau pun mereka memasuki lubang biawak kamu akan mengikuti mereka". Diantara para sahabat ada yang bertanya "Ya, Rasululah apakah yang dimaksud (di sini) adalah pemeluk agama Yahudi dan Nashrani?" Rasulullah menjawab "Siapa lagi (kalau bukan mereka) (HR. Bukhari)

Makna bid’ah
Secara etimologis, bid’ah berarti ungkapan untuk suatu hal baru yang diciptakan tanpa ada contohnya, atau belum pernah ada atau dilakukan sebelumnya.[1] Makna kata bid’ah semacam itu ditemukan di dalam ayat al Qur'an yang berbunyi;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia. (QS al-Baqarah 2:117)
Atau dalam ayat lain ;
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".(QS Al-Ahqaf 46 :9)
Secara epistemologis, bid’ah dalam Islam seringkali dikonotasikan dalam arti yang negatif, yaitu sebutan untuk segala hal baru dalam agama, mencakup ibadah, adat istiadat dan dogma, yang belum pernah dipraktekkan oleh Nabi sebelumnya.[2] Atau, dalam penafsiran yang minimal, inovasi dalam ritual atau kepercayaan agama. Jadi inti konsep bid’ah adalah suatu praktek yang tidak ada contohnya dalam praktek Nabi atau Sahabatnya dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran agama, dilakukan untuk mendapatkan pahala.[3]
Secara normatif, istilah bid’ah dalam Islam merujuk pada beberapa Hadits Nabi, di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Daud;
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Aku berwasiat kepada kalian, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dengarkan dan ta’atilah seandainya ada kewajiban atas kalian, sebab suatu saat akan terjadi suatu pertentangan yang besar tentang agama, maka kalian (umat islam) hendaklah teguh dengan sunnahku, sunnah para khalifah yang terpilih, maka peganglah sunnah itu kuat-kuat oleh kalian, dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara yang baru, sebab setiap bid’ah adalah kesesatan.
Di dalam Hadits lain juga disebutkan bahwa seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.
وشر الامور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Sejelek-jeleknya perkara (dalam agama) adalah hal-hal yang baru, dan setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka (H.R Nasa’i)
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama' dalam mendefinisikan bid’ah. Imam al-Syafi'i mengatakan bahwa bid’ah ialah segala hal baru yang terdapat setelah masa Rasululah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan khalifah yang empat (Khulafa' al-Rashidin). Izzuddin bin'Abd al-Salam, ahli fiqh madzhab Syafi'i mendefinisikan bid’ah sebagai segala perbuatan yang belum dikenal pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Menurut Ibn Rajab al-Hanbali, ahli fiqh madzhab Hanbali, bid’ah adalah segala hal baru yang tidak ada dasar syari'atnya. Imam al-Shatibi, ahli fiqh madzhab Maliki mengatakan bahwa bid’ah adalah suatu cara yang diciptakan menyerupai syari'at dalam agama dan dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.[4]
Semua ulama' sepakat bahwa bid’ah dalam wilayah syari'at adalah perbuatan terlarang dalam agama. Alasannya berdasarkan Hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Barang siapa mengada-ngada urusan baru dalam agama ini, yang tidak kami ajarkan maka akan tertolak (H.R Bukhari)
Pernyataan al-Qur'an yang biasanya dikutip dalam konteks ini dan menjadi alasan di balik pelarangan bid’ah tersebut, adalah Firman Allah yang berbunyi
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu. (QS Al-Ma’idah 5:3)
Akan tetapi para ulama' berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas bid’ah. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh masing-masing ulama di atas, pengertian bid’ah dapat dibedakan antara bid’ah yang lebih mengacu pada aspek kebahasaan dan bid’ah yang lebih mengacu pada aspek syari'at.[5]
Kelompok yang mengacu pada aspek kebahasaan membagi bid’ah menjadi dua; bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) atau bid’ah mahmudah (bid’ah yang terpuji) dan bid’ah sayyi'ah (bid’ah yang buruk) atau bid’ah madhmûmah (bid’ah yang tercela). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-Shafi'i, bahwa bid’ah hasanah atau mahmudah adalah bid’ah yang sesuai dengan tujuan syara' meskipun tidak diperbuat oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sementara bid’ah sayyi'ah atau madhmûmah adalah bid’ah yang tidak sesuai dengan tujuan syara'. Pemahaman semacam ini mengacu pada sikap Umar bin al- Khattab (Khalifah II) yang melakukan inovasi dalam shalat tarawih pasca wafatnya Nabi, dan ia mengatakan: “ni’mat al bid’ah hadhihi” (sungguh ini bentuk bid’ahyang sangat mulia), Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut;
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ. يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِى أَوَّلِهِ .رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Maka Umar r.a berkata kepadanya (Abdurahman ibn Abdul Qariy), sungguh ini bentuk bid’ah yang sangat mulia, sedangkan orang yang mengerjakan shalar tarawih akhir malam lebih utama dari yang awal malam, namum kebanyakan manusia memilih mengerjakannya pada awal malam (H.R Bukhari)
Pemahaman semacam ini juga didukung oleh pemahaman terhadap hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
Barangsiapa yang melakukan tradisi positif, dan diikuti oleh generasi berikutnya, maka baginya adalah pahala atas tradisi itu, dan pahala dari orang yang mengikuti inovasi positif itu dengan tidak dikurangi sedikit pun dari padanya. (H.R Muslim)
Adapun kelompok yang berpegang pada aspek syari'at membagi bid’ah menjadi dua bentuk pula; bid’ah 'âdiyah (bid’ah dalam kehidupan sehari-hari) dan bid’ah ‘ubûdiyyah (bid’ah dalam ibadah). Bid’ah 'âdiyah adalah kebiasaan duniawi yang telah diserahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, seperti sabdanya:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih paham terhadap urusan duniawi (H.R Muslim)
Sementara bid’ah 'ubudiyah adalah kegiatan yang menyangkut ibadah, seperti berkumpul bersama pada hari keempat puluh setelah kematian seseorang untuk membaca al-Qur'an guna meminta berkah Tuhan atas orang yang sudah meninggal. Kelompok yang membagi bid’ah menjadi 'adiyah dan 'ubudiyah ini menyatakan keberatannya terhadap praktik semacam itu karena sama sekali baru; jika praktik itu berguna, tentunya dapat ditemukan contohnya dalam Sunnah Nabi dan para sahabatnya.[6]
Pelarangan proto-inovasi itu bertujuan untuk menghindari kemungkinan diubahnya praktik keagamaan dengan adanya penambahan atau pengurangan yang bisa menimbulkan pada terjadinya perubahan. Di antara yang tidak setuju dengan praktek semacam ini adalah Ibn Taymiyah, dengan dasar hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Barang siapa mengada-ngada urusan baru dalam agama ini, yang tidak kami ajarkan maka akan tertolak (H.R Bukhari)
Jadi persolan bid’ah tergantung dari sudut pandang mana seseorang melihat, yang jelas, semua sepakat bahwa bid'ah yang dilarang dalam agama (haram) adalah melakukan inovasi yang bertentangan dengan dasar-dasar ajaran agama baik dalam urusan dunia maupun ibadah. Apakah dengan menggenapkan dari sesuatu yang ganjil atau mengganjilkan sesuatu yang genap atau dengan istilah sosialnya adalah koruptor.
Nubuwat Bid’ah
Bid’ah yang dimaksud disini adalah bid’ah yang memiliki lawan sunnah. Yang dimaksud Sunnah disini adalah segala sesuatu yang perbuatan, perkataan, dan ketetapan dalam agama Islam yang bersumber langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Jadi bid’ah adalah segala perbuatan, perkataan dan ketetapan dalam agama islam yang tidak bersumber langsung kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini sebagaimana disebut dalam hadits;
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Barang siapa mengada-ngada urusan baru dalam agama ini, yang tidak kami ajarkan maka akan tertolak (H.R Bukhari)
Dengan pendekatan bid’ah seperti ini, maka siapa pun tidak berhak untuk membuat syari’at baru dalam Islam selain apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Oleh karenanya, meskipun syari’at itu datang dari seorang sahabat Rasul, maka kita tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya sebaliknya kita mesti menolaknya. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan shalat berjama’ah qiyamul lail pada bulan Ramadlan (shalat tarawih) yang bersumber kepada pendapat Umar ibn Khattab, dipandang sebagai suatu bid’ah, sebab Nabi tidak melaksanakannya dan tidak memerintahkannya. Shalat tarawih berjama’ah pada awal waktu terjadi pada zaman khalifah Umar ibn Khattab, sebagaimana hadits berikut;
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : وَاللَّهِ إِنِّى لأَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ : ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُومُونَ. يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ
Dari Abdurahman ibn ‘Abd al-Qari’ berkata: Saya pernah keluar bersama Umar ibn Al-Khattab pada suatu malam bulan Ramadlan melewati sebuah mesjid. Pada saat itu kaum muslimin shalat (tarawih) bercerai berai antara satu dengan yang lainnya membentuk kelompok-kelompok, berkata Umar ibn Khattab r.a;” Demi Allah, kalau menurut pendapatku alangkah baiknya kalau shalat tarawih itu dipimpin oleh satu imam saja, Kemudian beliau mengumpulkannya dan beliau menyuruh Ubay ibn Ka’ab. Dan berkata (Abdurahman /perawi) kemudian aku keluar pada malam lainnya, dan kaum muslimin tetap sholat dengan berjama’ah, maka berkata Umar ibn Khattab r.a :” sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”!, sedangkan orang-orang yang mengakhirkan shalat malam lebih utama dari pada orang yang shalat tarawih awal malam, namun kebanyakan manusia lebih memilih awal malam dalam melaksanakan shalat malam. (H.R Bukhari)
Dari hadits tersebut, menurut kaidah al-naqd (kritik hadits), dipandang lemah hal ini dapat disorot pada dua hal; yang pertama dari segi sanad hadits tersebut tergolong hadits mauquf yakni yang sanadnya hanya sampai pada shahabat (Umar ibn Khattab) walaupun diriwayatkan oleh al-Bukhari, sedangkan yang dari segi matan, dianggap lemah karena tidak bersandar kepada perbuatan Rasullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam arti berjama’ahnya salat tarawih merupakan ijtihad dari Umar ibn al-Khattab. Sedangkan ijtihad dalam urusan ibadah adalah sesuatu yang tercela sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الاِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ.
“Berpegang teguh pada sunnah (Rasulullah) lebih baik dari pada berijtihad dalam bid’ah ”. (H.R Al-Hakim)
bid’ah dan sunnah adalah ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, keduanya muncul tidak berbarengan, artinya jika yang muncul adalah bid’ah, maka sunnah akan hilang. Begitu pula jika muncul sunnah maka bid’ah akan hilang. Sebagimana diriwayatkan dari Ibnu Abas r.a
لا يذهب من السنة شىء حتى يظهر من البدعة مثله حتى تذهب السنة وتظهر البدعة
“Tidaklah suatu sunnah itu hilang, kecuali akan muncul bid’ah sebagi penggantinya, sehingga mapanlah yang bid’ah itu dan terkuburlah sunnah”
Maka dalam pelaksanaan syari’ah, akan ada dua alternatif yang dilakukan oleh seseorang, apakah dia akan berusaha melaksanakannya sejalan dengan sunnah Rasulullah, atau “berijtihad” (bid’ah) dan melaksanakan “ijtihad”nya yang kadang mengikuti keinginan manusia atau suatu kelompok manusia. Barang siapa yang berbuat mengikuti sunnah Rasul maka dia akan mendapat petunjuk, sedangkan barang siapa yang memaksakan dan mapan dengan perbuatan bid’ah maka dia akan sesat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
فَإِنَّ لِكُلِّ عَابِدٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً فَإِمَّا إِلَى سُنَّةٍ وَإِمَّا إِلَى بِدْعَةٍ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدْ اهْتَدَى وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Sesungguhnya setiap yang beribadah itu akan berusaha melaksanakanny, dan setiap yang berusaha akan mapan melaksanakannya apakah pada sunnah atau pada bid’ah. Maka barang siapa yang mapannya dalam sunnah maka dia akan mendapat petunjuk dan barang siapa yang mapannya dalam bid’ah maka dia akan celaka (sesat) ”. (H.R Ahmad)
Adapun bentuk-bentuk kecelakaan dan kesesatan dari pelaku bid’ah itu antara lain;

1. Dia akan ditemani syaitan (jin kafir) dalam setiap ibadahnya
من عمل ببدعة خلاه الشيطان فى العبادة وألقى عليه الخشوع والبكاء
“Barang siapa berbuat bid’ah, maka dia akan disertai syaitan dalam ibadahnya dan dijauhkan darinya kekhusyuan dan kesyahduan”. (H.R Dailamy)
2. Dilaknat oleh Allah, malaikat dan manusia seluruhnya
من غش أمتى فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين قالوا يا رسول الله وما الغش قال أن يبتدع لهم بدعة فيعمل بها
Barang siapa yang memipu umatku maka baginya laknat Allah dan malaikat serta manusia seluruhnya, para shahabat bertanya ya! Rasulullah siapa yang menipu itu, Rasul menjawab:” dialah yang membuat bid’ah bagi mereka dan melaksanakanbid’ah itu.” (H.R Thabrani)
3. Tidakakan bersanding dengan baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kelak diakhirat
من أحيا سنتى فقد أحبنى ومن أحبنى كان معى فى الجنة
Barang siapa yang menghidupkan sunnahku, maka dia telah mencintaiku, barangsiapa yang mencintaiku maka dia akan bersamaku disyurga. (Riwayat al-Sajziy dari Anas)
4. Mendapat dosa dari manusia yang mengikuti perbuatan bid’ahnya
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي ، فَإِنَّ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنَ النَّاسِ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً لا تُرْضِي اللَّهَ ورَسُولَهُ ، فَإِنَّ لَهُ مِثْلَ إِثْمِ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنَ النَّاسِ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِ النَّاسِ شَيْئًا
Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang telah mati setelah kematianku maka baginya pahala sebesar orang yang mengerjakan sunnah itu tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mendatangkan bid’ah maka Allah dan Rasul-Nya tidak akanridha kepadanya dan dia dapat dosa dari dosanya orang yang melakukan bid’ahnya tanpa dikurangi sedikit pun”. (H.R Ahmad)
5. Amal sholehnya tertolak
إن الله تعالى لا يقبل لصاحب بدعة صوما ولا صلاة ولا صدقة ولا حجا ولا عمرة ولا جهادا ولا صرفا ولا عدلا حتى يخرج من الإسلام كما تخرج الشعرة من العجين
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima dari pelaku bid’ah ; shaum, shalat, haji, umrah, jihad, amalah fardhu,amalan sunnah sampai dia keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya ”. (H.R Dailamy)
Dilihat dari sumbernya bid’ah, ada dua sumber yang umumnya dijadikan sebagai bentuk perbuatan bid’ah;

1. Tasyabbuh yakni meniru atau mengikuti praktek-praktek keagamaan baik dari agama samawi (Yahudi dan Nasrani) maupun agama-agama budaya. Atau berasal pula dari adat istiadat/budaya yang dimasukan dalam bentuk peribadatan atau dijadikan syari’at dan berkeyakinan bahwa itu bagian dari Islam.
2. Murni sebagai inovasi terhadap syari’at baik dengan menambah atau mengurangi suatu ajaran yang telah ditetapkan.
Sedangkan penyebab terjadinya bid’ah dikalangan umat diantaranya;
1. Tahrif (penyimpangan) ajaran agama Islam oleh kelompok orang-orang kafir, fasik, munafik. Bentuk ini termasuk katagori makar yang sistemik dan sistematik yang dilakukan oleh organisasi tertentu.
2. Sikap ghuluw (berlebihan) didalam beragama, merasa bahwa syari’at belum sempurna dan menurut pikirannya perlu disempurnakan baik dengan menambah atau mengurangi suatu syari’at. Sikap ini telah banyak membinasakan penganut agama samawi sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
إ
ِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Janganlah kalian bersikap berlebih-lebihan dalam agama, sebab sikap seperti itu telah membinasakakan orang-orang sebelum kalian. (H.R Ahmad)
3. Jahalah (kebodohan), yakni pemahaman yang keliru terhadap agama karena kurangnya pengetahuan tentang agama (tafaquh fiddin).
يَرِثُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ
Ilmu ini (tentang syari’at) akan dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang adil, mereka ini akan membersihkannya dari penafsiran kaum jahil, pengrusakan kaum konspirator, dan peyimpangan orang ghuluw”. (H.R Baihaqi)
Kaidah-Kaidah Dasar
Untuk menentukan suatu praktek bid’ah atau bukan, ada beberapa kaidah yang dapat dijadikan patokan antara lain;

1. Sesuatu perkara syari’at yang tidak memiliki dasar hukum yang tegas dan jelas baik dari Al-Qur’an maupun Al-hadits shahihah. Untuk meneliti atau mencari dasar hukum terutama dari al-hadits dapat mengunakan program digital computer seperti maktabah syamilah versi.11 yang memuat kurang lebih 108 kitab hadits dari 6250 kitab berbahasa Arab.
2. Suatu perkara syari’at yang bersumber dari dalil yang lemah atau hadits dhaif sekali terutama hadits-hadits maudhu (palsu), mursal, dan tidak mencapai marfu’.
3. Perkara yang masih dipertentangkan dikalangan fuqaha tidak termasuk kedalam bid’ah sepanjang masih memiliki dalil-dalil yang dapat dipertanggung jawabkan.
4. Suatu perkara yang sudah jelas-jelas perbuatan atau prilaku keagamaan diluar Islam.
5. Menghindari taqlid buta atau ikut-ikutan terhadap sesuatu dalam keagamaan tanpa adanya alasan atau tanpa kritik. Setidanya hendaklah menjadi seorang muttabi, mengikuti disertai dengan alasan/dalil. Taqlid umumnya kepada mayoritas, padahal mayoritas tidak selamanya mempersentasikan kebenaran, bahkan bisa jadi mayoritas bisa mengelabui seseorang dalam kebenaran, sebagaimana disebut dalam surat al-An’am ayat 116
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).(Al-An’am :116)
Maka sifat arif dalam menghadapi persoalan agama adalah bertanya kepada orang yang memiliki kapasitas keilmuan agama (ahlu dzikri) jika kita tidak memahami urusan suatu agama,
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (Al-Nahl:43)
Bid’ah adalah bentuk syirik
Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan bid’ah dalam syari’ah digolongkan kepada perbuatan syirik karena membuat tandingan syari’ah baru baik dengan menambah maupun mengurangi syari’at. Atau dalam kata lain mencampur adukan antara al-haq dan al-batil. Dan prilaku seperti ini kebayakan dilakukan oleh manusia mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk, sebagaimana yang disebutkan dalam QS al-Jatsiyah 45:23 dan ditegaskan dalam surat Yusuf ayat 106 sebagai syirk.
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS al-Jatsiyah 45:23)
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). ( QS Yusuf 12:106)
Referensi:
[1] Ibn al-Jawzi, Talbis Iblis (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah 994), 24. atau al-Shatibi, al I'tisam (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1991), 27.
[2] Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid I, 217
[3] Muhammad ‘Abd al Salam al Shaqiri, al Sunan wa al Mubtada’at (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiah, 1994), 17. bisa dilihat juga dalam Ali Mahfuz, al Ibda’ fi Madar al Ibtida’ (Kairo: Dar al I’tisam, t.t.), 26. atau al-Shatibi, al I’tisam, 28.
[4] Abdul Aziz Dahlan (ed.) Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru, 2001), 217-218.
[5] Ali Mahfuz, al Ibda’ fi Madar al Ibtida’, 38-39.
[6] Ali Mahfuz, al Ibda’, 28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar